" Hakikat Hidup Sejati . . . "
ibarat merajut . . . .
berpangkal lobang berujung lobang
tak satu tertinggal tak satupun kan terulang . . . .
ibarat akar pepohonan . . . . . .
menusuk seolah kan menggapai pusat bumi
tak kan terputus oleh serpihan pasir dan batu
meski kadang harus menembus, berputar, bertemankan sepi
tuk mengejar asa dari indahnya mimpi-mimpi
hingga berbuah manis seakan tak mau henti
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
" Apapun ujung yang terjadi pasti hakiki "
hardi, sugeng, 22 August 2012
Rabu, 22 Agustus 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
Untuk Apa Berpuasa
Metro Kolom | Selasa, 31 Juli 2012 23:03 WIB
Dalam ibadah puasa terdapat dimensi metafisik. Ini
sebaiknya disikapi dengan iman, semata menjalani perintah Allah. Sebagai orang
beriman sikapnya hanyalah mengimani dan menjalani apa yang diperintahkan-Nya.
Seberapa besar pahala puasa, kita serahkan saja pada Allah, yang paling pokok
kita melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Namun, dalam puasa juga terdapat dimensi-dimensi lain yang bisa diamati dan dianalisis secara ilmiah-empiris. Terutama yang menyangkut kesehatan fisik dan mental. Dimensi ini telah banyak dikaji oleh kalangan kedokteran dan psikolog. Ada lagi dimensi sosial-budaya, seperti acara buka bersama sebagai ajang silaturahmi.
Semua perintah ibadah selalu ada pesan yang bersifat metafisik yang nalar sulit menjawabnya kalau saja diperdebatkan. Misalnya saja, mengapa batal wudhu gara-gara buang angin, lalu dibasuh mukanya? Tetapi jika menyangkut aspek pembelajaran yang bersifat psikologis-sosial, maka ilmu pengetahuan bisa turut menjelaskannya. Bukankah agama menuntut pemeluknya untuk menggunakan nalar dalam memahami dan melaksanakannya? Dalam ibadah puasa terdapat pesan agar hidup menjadi sehat jasmani, nafsani, ruhani, secara social maupun individual.
Yang paling mudah diamati, perintah puasa mengajak kita untuk menjaga lisan dan tindakan agar tidak melukai pihak lain. Efek dari perintah ini adalah menciptakan hubungan sosial yang santun dan saling menghargai, sehingga hubungan sosial menjadi sehat, harmonis.
Seperti kita saksikan bersama, begitu masuk bulan Ramadan masyarakat kita berubah menjadi lebih religius dan santun. Orang yang sedang menjalankan puasa akan berusaha semaksimal mungkin menjaga puasanya agar sempurna dengan menghindarkan omongan dan perbuatan tercela. Emosi yang biasanya meluap ketika sedang berpuasa menjadi terkontrol. Orang lebih memilih diam, membaca kitab suci atau menghadiri ceramah keagamaan dari pada nongkrong di kafé atau ngerumpi. Mereka merasa rugi kalau puasanya hanya sebatas menahan lapar dan haus.
Selain bagus bagi kesehatan fisik dan mental, berpuasa juga dapat mengantarkan kita kepada kesalehan sosial. Sudah banyak pakar dan ilmuwan yang melakukan kajian hikmah puasa dari pendekatan medis dan psikologis. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” Sehat di sini menarik dikaji dari berbagai aspek, baik aspek fisik, mental maupun sosial.
Dalam bulan puasa, di dalamnya juga terkandung perintah salat tarawih yang dilakukan malam hari secara berjamaah. Secara fisik, mental dan sosial salat tarawih juga dapat meningkatkan kelenturan tubuh, rileksasi dan memelihara silaturahim dengan tetangga, sehingga tercipta hubungan sosial yang baik mengingat salat tarawih umumnya dilakukan secara berjamaah di masjid.
Namun, rahasia puasa dan salat tarawih dari sisi spiritual semua itu kita serahkan saja sepenuhnya kepada Allah. Manusia tidak memiliki wewenang dan kemampuan untuk mengukur skala ketulusan, keikhlasan, dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah.
Apakah kita bersungguh-sungguh melaksanakan puasa ataukah tidak, orang yang bersangkutan akan lebih tahu dan merasakannya mengingat aktivitas ibadah itu sesungguhnya sangat bersifat pribadi. Meski bersifat pribadi, dari semua ibadah dalam Islam dituntut agar membuahkan kebajikan sosial. Dengan menghayati dan menjalani ibadah puasa, seseorang mestinya senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan, kejujuran, kedamaian, dan kenyamanan kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Jadi, sungguh ironis kalau sebuah bangsa yang rajin berpuasa namun juga senang melakukan korupsi dan bertengkar.
Memang, kita tidak bisa menarik garis lurus dan mengharapkan puasa untuk memberantas korupsi, karena ibadah puasa lebih bersifat individual dan komunal, sementara korupsi berada pada ranah birokrasi dan pelanggaran hak-hak publik. Jadi ibadah puasa hanya bisa memberikan pesan dan kekuatan moral, namun lembaga eksekusinya adalah instrumen negara. Tanpa penegakan hukum dan keadilan secara konsisten dan tegas, perilaku keberagamaan seseorang tidak efektif untuk memberantas korupsi.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Namun, dalam puasa juga terdapat dimensi-dimensi lain yang bisa diamati dan dianalisis secara ilmiah-empiris. Terutama yang menyangkut kesehatan fisik dan mental. Dimensi ini telah banyak dikaji oleh kalangan kedokteran dan psikolog. Ada lagi dimensi sosial-budaya, seperti acara buka bersama sebagai ajang silaturahmi.
Semua perintah ibadah selalu ada pesan yang bersifat metafisik yang nalar sulit menjawabnya kalau saja diperdebatkan. Misalnya saja, mengapa batal wudhu gara-gara buang angin, lalu dibasuh mukanya? Tetapi jika menyangkut aspek pembelajaran yang bersifat psikologis-sosial, maka ilmu pengetahuan bisa turut menjelaskannya. Bukankah agama menuntut pemeluknya untuk menggunakan nalar dalam memahami dan melaksanakannya? Dalam ibadah puasa terdapat pesan agar hidup menjadi sehat jasmani, nafsani, ruhani, secara social maupun individual.
Yang paling mudah diamati, perintah puasa mengajak kita untuk menjaga lisan dan tindakan agar tidak melukai pihak lain. Efek dari perintah ini adalah menciptakan hubungan sosial yang santun dan saling menghargai, sehingga hubungan sosial menjadi sehat, harmonis.
Seperti kita saksikan bersama, begitu masuk bulan Ramadan masyarakat kita berubah menjadi lebih religius dan santun. Orang yang sedang menjalankan puasa akan berusaha semaksimal mungkin menjaga puasanya agar sempurna dengan menghindarkan omongan dan perbuatan tercela. Emosi yang biasanya meluap ketika sedang berpuasa menjadi terkontrol. Orang lebih memilih diam, membaca kitab suci atau menghadiri ceramah keagamaan dari pada nongkrong di kafé atau ngerumpi. Mereka merasa rugi kalau puasanya hanya sebatas menahan lapar dan haus.
Selain bagus bagi kesehatan fisik dan mental, berpuasa juga dapat mengantarkan kita kepada kesalehan sosial. Sudah banyak pakar dan ilmuwan yang melakukan kajian hikmah puasa dari pendekatan medis dan psikologis. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” Sehat di sini menarik dikaji dari berbagai aspek, baik aspek fisik, mental maupun sosial.
Dalam bulan puasa, di dalamnya juga terkandung perintah salat tarawih yang dilakukan malam hari secara berjamaah. Secara fisik, mental dan sosial salat tarawih juga dapat meningkatkan kelenturan tubuh, rileksasi dan memelihara silaturahim dengan tetangga, sehingga tercipta hubungan sosial yang baik mengingat salat tarawih umumnya dilakukan secara berjamaah di masjid.
Namun, rahasia puasa dan salat tarawih dari sisi spiritual semua itu kita serahkan saja sepenuhnya kepada Allah. Manusia tidak memiliki wewenang dan kemampuan untuk mengukur skala ketulusan, keikhlasan, dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah.
Apakah kita bersungguh-sungguh melaksanakan puasa ataukah tidak, orang yang bersangkutan akan lebih tahu dan merasakannya mengingat aktivitas ibadah itu sesungguhnya sangat bersifat pribadi. Meski bersifat pribadi, dari semua ibadah dalam Islam dituntut agar membuahkan kebajikan sosial. Dengan menghayati dan menjalani ibadah puasa, seseorang mestinya senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan, kejujuran, kedamaian, dan kenyamanan kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Jadi, sungguh ironis kalau sebuah bangsa yang rajin berpuasa namun juga senang melakukan korupsi dan bertengkar.
Memang, kita tidak bisa menarik garis lurus dan mengharapkan puasa untuk memberantas korupsi, karena ibadah puasa lebih bersifat individual dan komunal, sementara korupsi berada pada ranah birokrasi dan pelanggaran hak-hak publik. Jadi ibadah puasa hanya bisa memberikan pesan dan kekuatan moral, namun lembaga eksekusinya adalah instrumen negara. Tanpa penegakan hukum dan keadilan secara konsisten dan tegas, perilaku keberagamaan seseorang tidak efektif untuk memberantas korupsi.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)